Selasa, Desember 11, 2018

Semar Dawuh: Nasihat Semar dalam Lukisan





Semar Dawuh

Mengapa  harus tokoh Semar, Bima, dan Arjuna yang saya munculkan dalam lukisan ini?

Menurut Budayawan kondang Indonesia, Emha Ainun Nadjib dan Sujiwo Tejo, bahwa setelah Presiden Gus Dur menghadap Sang Kuasa  Indonesia tak punya lagi tokoh Semar. Meskipun kita tak mampu menjadi Semar, namun hadirkanlah peran Semar dalam dirimu sebagai moderator yang akan mengatur kapan kau akan memunculkan sifat Bagong: Kritis, Gareng: Apatis, atau Petruk: Easy going (Sujiwo Tejo), agar hidupmu menjadi seimbang.

Raden Werkudara/Bima dan Raden Janaka/Arjuna dalam wiracarita Mahabarata merupakan kekuatan inti Pandawa, dimana pemerintahan Yudhistira akan pincang tanpa keduanya ibarat lembaga legislatif tanpa lembaga eksekutif dan yudikatif. Begitupun dalam Pancasila. Kedua tokoh sebagai simbol sila kedua dan ketiga ini merupakan inti dari Pancasila yang didasari oleh ketuhanan yang maha esa. Pengamalannya haruslah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan tujuan Pancasila yakni sila kelima (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) yang ditempuh melalui sila keempat (musyawarah/demokrasi).

Bagi yang berkeyakinan islam dapat pula diartikan bahwa kedua tokoh sebagai simbol rukun Islam yang kedua dan ketiga, dimana keduanya merupakan kekuatan inti keimanan. Dibuktikan dengan banyaknya ayat yang menyebutkan solat dan zakat secara bersamaan.

Apa yang didawuhkan Semar kepada kedua pengeran?

"Bila kau ingin menjalani hidup mulia, letakkan keinginanmu disini (dibawah kaki), dibawah keinginan Tuhanmu." Artinya bahwa manusia hidup atas kehendak Tuhan, dan untuk sampai kepada Tuhan, manusia hanya perlu menjalani hidup sesuai kehendak Tuhan. Disini saya sependapat dengan Ki Dalang Sujiwo Tejo bahwa "tangga menuju langit adalah kepalamu, maka letakkan kepala/pikiranmu dibawah kakimu untuk diinjak-injak agar kau sampai ke langit."

Batik motif kangkung setingkes (kangkung, bunga, dan burung) sengaja saya letakkan di atas sebagai simbol kerukunan hidup bermasyarakat. Makna ini diperkuat dengan pinggiran batik berupa motif tapis pucuk rebung khas Lampung, lengkap dengan semboyan propinsi Lampung "Sai Bumi Ruwai Jurai". Artinya bahwa propinsi Lampung yang didominasi oleh suku Jawa dan Lampung menerapkan dan harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan sehingga tercipta kerukunan hidup bermasyarakat.

Dalam lingkup yang lebih luas, apabila nilai-nilai luhur Pancasila diterapkan, tentunya "Bhineka Tunggal Ika" bukan hanya sebatas semboyan bangsa belaka, tetapi merupakan wujud dari tercapainya tujuan Pancasila itu sendiri sebagaimana yang diharapkan Mahapatih Gajahmada.

Itulah pesan inti yang ingin disampaikan  lukisan "Semar Dawuh" kepada saudaraku sebangsa dan setanah air di manapun berada.

Rohimatus Salamah

Jancukers : Sebuah Kehangatan Hidup Bernegara



Resensi
Oleh Rohimatus Salamah
Jancukers            : Sebuah Kehangatan Hidup Bernegara
Judul                   : Republik #Jancukers
Penulis                : Sujiwo Tejo
Penerbit               : PT Kompas Media Nusantara
Jumlah halaman  : xiv + 400

Apa yang muncul di benak Anda apabila mendengar kata 'jancuk'? Oleh sebagian besar orang, jancuk dinilai sebagai kata yang bersifat kasar, kotor, bahkan tak senonoh. Saking kuatnya konotasi negatif itu, orang cenderung lebih suka menghakimi penggunanya ketimbang mencari tahu asal-usulnya.
Di daerah asalnya, Surabaya, jancuk tak sedemikian. Orang lazim menggunakannya sebagai sapaan akrab yang mewakili kehangatan berkomunikasi. Bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi, jancuk dapat mewakili ungkapan syukur.
Bila jancuk dapat membangun kehangatan berkomunikasi masyarakat Surabaya, tentu menjadi hal menarik untuk ranah yang lebih luas: kehidupan bernegara. Namun, tak semua orang sanggup menerima begitu saja kepopuleran kata yang terlanjur berkonotasi negatif itu.
Jancuk baru dapat diterima setelah mendapat imbuhan 'ers' menjadi kata 'jancukers', sebuah kosakata yang menghubungkan fans Sujiwo Tejo di jagad maya.  Alhasil, orang-orang yang termasuk di dalamnya  dapat berdiskusi dengan hangat meski saling silang pendapat.
Meski hanya sebuah negeri khayalan, nyatanya negeri jancukers yang dipopulerkan oleh seniman nyentrik ini merupakan sindiran halus bagi kekacauan-kekacauan di Indonesia, terutama yang disebabkan para pemegang kekuasaan. Buku Republik #Jancukers secara tidak langsung mengajak pembaca untuk berpikir kritis namun santai. Berpikir mencari solusi untuk mengatasi kejahatan tanpa membenci kejahatan itu sendiri.
Selain mengkritisi pemain politik, penulis mencoba mengajak diskusi pola pikir masyarakat melalui tulisan-tulisan ringan nan jenaka. Di sini terlihat jelas rasa greget penulis terhadap masyarakat yang cenderung menilai sesuatu secara tekstual. Memang benar. Kenyataannya, makna kontekstual yang merupakan esensi dari sebuah permasalahan seringkali dilupakan.
Jika Anda diberi pilihan, lebih baik orang yang bicaranya sekenanya tapi hati dan perilakunya bersih atau koruptor yang bicaranya santun tapi diam-diam menyakiti hati rakyat? Di sinilah jancuk menjadi sapaan hangat untuk mengajak pembaca turut menilai sesuatu tidak dari kulit luar semata, namun lebih kepada mendalami isinya.
Disampaikan dengan kekhasan bahasa penulis, buku ini memang terlihat bercanda,  kadang terkesan jorok, dan tak masuk akal. Karena itu, dibutuhkan hati dan pikiran terbuka untuk menerima kebenaran dari sesuatu yang disampaikan secara ngawur.


Resensi Buku Rahvayana 1: Aku Lala Padamu



Resensi

Oleh Rohimatus Salamah

Judul                            : Rahvayana: Aku Lala Padamu 
Penulis                         : Sujiwo Tejo
Penerbit                        : PT. Bentang Pustaka
Jumlah halaman           : viii + 244 halaman


“Bila gelembung-gelembung Rahwana itu tak ada padamu, kau akan menolak pergi ke toko buku. Sekadar meminjam buku ini ke teman pun, kau tak akan berdaya bila gelembung-gelembung Rahwana tak menjangkitimu. Kau pun tak akan nge-twit dan sebagainya tentang buku ini. Bila gelembung-gelembung Rahwana tak menjangkitimu, adakah alasan bagimu menggunakan seluruh media sosial dan getok tular buat menjalarkan cinta via buku ini?”
Itulah cuplikan kalimat pembuka yang mengantarkan pembaca menyelami petualangan Rahwana dalam mengagumi pujaannya, Shinta. Bukan Sujiwo Tejo namanya kalau tak menyajikan kisah-kisah pewayangan yang keluar dari pakem-pakemnya. Begitupun kisah cinta Rahwana-Shinta versi buku ini, dimana pembaca menemukan sesuatu yang lain, yang belum pernah didengarnya dari pembicaraan manapun.
Rahwana, rajanya para raksasa dari negeri Alengka. Peran antagonis yang biasanya melekat pada tokoh utama dalam buku ini nampak tak dimunculkan, kecuali sifat lainnya yaitu penyayang sekaligus seorang pecinta ulung yang setianya minta ampun. Pembaca akan dibuat mabuk rasa melalui surat-surat Rahwana kepada Shinta. Sebab bukan hanya sensasi romantis, namun jenaka bahkan fantasi yang berkelana dan kadang tak masuk akal menghiasi jalannya cerita, hingga tak sadar tetiba sudah menjumpai surat yang entah keberapa.
Pengisahan tentang Shinta sendiri lebih bervariasi. Berbagai karakter Shinta muncul berkali-kali dalam petualangan Rahwana, mulai dari presenter tv, nenek penghuni panti jompo, hingga Shinta perias mayat. Tak puas hanya memfantasikan Shinta, tokoh utama pun difantasikan sedemikian rupa hingga membuat pembaca mengalami sensasi rasa “kok bisa ya?”
Meski dibungkus dalam kemasan fantasi dan lebih terkesan jenaka, namun muatan nilai-nilai keilahian yang terangkum dalam ajian Sastrajendra Hayuningrat sebagai ciri khas penulis tak dilupakannya. Secara tak terduga, pembaca dapat menemukan pesan moral, cerita sejarah, hingga muatan keilahian di tengah-tengah arus fantasi.
Bagi sebagian orang, tentu karya ini menjadi pilihan di tengah waktu luang dan padatnya aktivitas. Tetapi bagi sebagian lainnya yang tak terbiasa membaca karya fantasi akan dibuat bingung sendiri oleh alur cerita. Atau bagi sebagian orang yang terlalu terpaku pada pakem cerita Ramayana mungkin akan menolak meneruskan membaca buku yang ngawur ini.

Rabu, Mei 31, 2017

THP UNILA ADAKAN KUNJUNGAN UNTUK TAMBAH WAWASAN


Oeh Rohimatus Salamah

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian mengadakan kunjungan ke PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) 7 Unit Bekri, Lampung Tengah, Rabu (31/5). 

Dalam kunjungan tersebut, sebanyak 41 mahasiswa yang mengambil mata kuliah Teknologi Minyak Lemak diberikan materi ruang mengenai pengolahan minyak kelapa sawit hingga pemanfaatan limbahnya sebelum melihat prosesnya secara langsung di Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PPKS). Sejumlah karyawan PTPN 7 turut serta dalam sesi ini untuk berbagi pengetahuan dan wawasan seputar PKKS dan apa saja yang menjadi bagian di dalamnya.

Sawit yang kita kenal sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng ternyata harus melewati proses yang begitu panjang untuk dapat dikonsumsi. Pertama-tama Tandan Buah Segar (TBS) hasil panen diangkut ke pabrik menggunakan truk. Kemudian TBS ditampung sementara di loading ramp untuk dilakukan sortasi. “Hanya sawit dengan tingkat kematangan 1 dan 2, serta sawit lewat matang tingkat 1 yang dapat diterima untuk diolah lebih lanjut,” terang Dedi Tambunan, Asisten Teknik Reparasi.
Dedi selaku pemateri juga memaparkan secara rinci tahapan demi tahapan industri hulu komoditi perkebunan ini.

Untuk menuju tahapan perebusan, sawit dipindahkan ke sterilizer menggunakan gantry. Pada prinsipnya, perebusan bertujuan untuk memudahkan proses pemisahan tandan dengan buah sawit dan menonaktifkan enzim lipase yang berperan dalam peningkatan asam lemak bebas (ALB) yang memicu ketengikan pada minyak. Pembuangan oksigen/deaerasi juga tak kalah penting dalam tahapan ini untuk menjaga agar suhu perebusan tetap terjaga sehingga memudahkan proses selanjutnya.

Memasuki tahap penebahan/tresher, sawit dipisahkan dari tandannya untuk dimasukkan ke dalam digester dan mengalami proses pelumatan/digestion. Dari pelumatan inilah diperoleh Crude Palm Oil (CPO) yang akan diolah lebih lanjut menjadi minyak goreng. Namun CPO dari hasil pelumatan masih bercampur dengan kotoran dan air sehingga masih harus melewati tahap pemurnian di dalam stasiun klarifikasi. Minyak CPO yang sudah benar-benar siap untuk diolah lebih lanjut kemudian disimpan dalam tangki penyimpanan/storage tank.

Sayangnya mahasiswa tidak dapat melihat secara langsung proses pengolahan CPO menjadi minyak goreng komersial hingga proses pengemasan dan penggudangan. “PTPN 7 sendiri merupakan Badan Usaha MIlik Negara (BUMN) yang hanya diberi kewenangan mengolah produk hulu namun tidak diberi kewenangan mengolah produk hilir, sehingga pengoperasian pabrik hanya sebatas sampai menghasilkan bahan setengah jadi,” Terang Hadi Supriyanto, salah satu karyawan.
Disamping menghasilkan CPO, PPKS juga menghasilkan produk samping berupa tandan kosong (tankos) dan inti sawit (kernel). Disinilah efisiensi pabrik sawit bekerja, dimana tankos yang telah dipisahkan dari buahnya dimanfaatkan sebagai kompos bagi tanaman sawit sendiri. Sementara inti sawit akan diolah menjadi Palm Kernel Oil (PKO) sebagai bahan baku pembuatan mentega, lilin, sabun, dan produk kosmetik.
Ribut Sugiharto selaku dosen pengampu mata kuliah tersebut berharap kunjungan ini akan membekas dalam ingatan para mahasiswa. “Ya saya yakin mahasiswa akan selalu ingat ilmu yang diperoleh dari kunjungan ini sampai mereka lulus bahkan sampai memasuki dunia kerja,” ujarnya mantap.

Rabu, Desember 14, 2016

Luka dalam Luka



Tersesat di sisa malam
Terhanyut hingga tenggelam
Terhisap denyut amarah
Terkulai hempaskan resah

Mengurung itu penuh lena
Menggoreskan butir kaca
Buku putih tak lagi suci
Tetes darah ucaapkan arti

Mengubur itu sungguh manis
Melukai dinding pelipis
Melayangkan bait puisi
Membakar sisa memori

Merayakan kegundahan hati
Lebh sunyi dari sepi
Bagai pelita tanpa cahaya
Apalah kata tanpa suara